Loading Components..

Gelar Insinyur, bukan Sekedar Sarjana Teknik Asli

Gelar Insinyur, bukan Sekedar Sarjana Teknik Asli

 Administrator
 July 18th, 2025

Gelar Insinyur, bukan Sekedar Sarjana Teknik Asli

Bolehkah menulis gelar “Ir.” semata-mata karena latar belakang pendidikan seseorang di bidang teknik? Bahkan bila sudah lulus puluhan tahun silam? Sebab, seringkali gelar, apapun itu, ia melekat begitu kuat dalam ingatan kolektif, seolah otomatis menjadi bagian dari nama resmi.

Di tengah derasnya perbincangan gelar Insinyur seseorang mantan pejabat negara, mari kita bertanya sejenak: apa sebenarnya makna gelar Insinyur hari ini? Apakah cukup hanya lulusan teknik? 

Pertanyaan-pertanyaan ini bukan untuk meragukan individu, melainkan sebagai pengingat bahwa zaman telah berubah. Gelar "Insinyur" bukan lagi sekadar simbol kehormatan akademik yang boleh dipakai siapa saja. Ia kini adalah gelar profesi yang membawa tanggung jawab etik dan hukum, yang hanya dapat diperoleh melalui proses resmi yang ditetapkan oleh negara.

Jalur Resmi Menjadi Insinyur

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran, seseorang tidak otomatis menjadi insinyur hanya karena ia lulus dari jurusan teknik. Gelar akademik seperti Sarjana Teknik (S.T.) adalah bukti pendidikan. Tapi untuk menjadi Insinyur dan menyandang gelar “Ir.”, seseorang harus terlebih dahulu menempuh Program Studi Program Profesi Insinyur (PS PPI).

Program ini dirancang sebagai tahap profesionalisasi, sebuah jembatan antara dunia akademik dan dunia praktik. Dalam PS PPI, peserta menyusun portofolio praktik keteknikan, mengikuti pelatihan, dan dinilai oleh asesor profesional. Kurikulum tentu mencakup Etika profesi insinyur, K3L dan diajar oleh praktisi keinsinyuran. 

Bagi mereka yang sudah cukup masa dan pengalaman berkarya di bidang keteknikan, tersedia jalur rekognisi pembelajaran lampau (RPL) yang memungkinkan portofolionya diakui sebagai bagian dari proses pembelajaran. Maka waktu memperoleh gelarnya jauh lebih singkat.

Setelah lulus dari PS PPI, langkah berikutnya adalah memperoleh Surat Tanda Registrasi Insinyur (STRI) yang diterbitkan oleh Persatuan Insinyur Indonesia (PII). STRI inilah yang menjadikan seseorang sah menurut hukum sebagai Insinyur Profesional. Tanpa STRI, menyandang gelar “Ir.” adalah tindakan yang menyalahi regulasi. Beberapa kampus penyelenggara PS PPI membantu registrasi ini sebagai layanan pasca kelulusan dengan bekerja sama dengan PII.

Singkatnya: setelah dapat gelar "S.T.", ikuti program PS PPI reguler (bagi lulusan baru) atau RPL (bagi yang sudah cukup pengalaman kerja di bidang teknik) di kampus, registrasi STRI di PII, setelah itu sah  bisa gunakan  gelar "Ir."

Mengingat pentingnya program profesi ini, maka program ini dikawal oleh Persatuan Insinyur Indonesia (PII) dan Kementerian RISTEKDIKTI. Untuk penjaminan mutunya secara eksternal diakreditasi oleh LAM TEKNIK. 

Apakah Ini Terlalu Menyulitkan?

Sebagian orang menganggap keharusan menempuh PS PPI sebagai beban tambahan. Di tengah kompetisi kerja yang makin ketat, mereka khawatir lulusan teknik justru tertunda masuk dunia kerja. Namun logika ini perlu diluruskan.

Profesi insinyur bukan profesi biasa. Ia menyentuh keselamatan publik: dari jembatan, jalan raya, sistem listrik, mesin-mesin hingga teknologi pangan dan air bersih. Tak bisa sembarang orang disebut insinyur hanya karena pernah belajar teknik. Butuh mekanisme verifikasi, sebagaimana profesi dokter, apoteker, arsitek, maupun guru.

Lagipula, PS PPI tak selalu berarti duduk di bangku kuliah. Banyak kampus kini membuka opsi blended learning. Bahkan jalur RPL memberi kemudahan bagi profesional senior untuk diakui tanpa perlu "mengulang dari nol." Program ini bukan tambahan beban, melainkan penghormatan atas pengalaman dan bukti standar mutu profesi.

Indonesia Sejalan dengan Dunia

Jalur keprofesian seperti ini bukan hal baru di dunia. Di Amerika Serikat dan Kanada, insinyur profesional menggunakan gelar P.Eng (Professional Engineer), yang hanya dapat diperoleh setelah melalui ujian dan pengalaman praktik. Di Inggris ada CEng (Chartered Engineer). Di Jerman, sekalipun mereka menggunakan gelar Diplom-Ingenieur atau M.Sc., tetap diperlukan verifikasi kompetensi oleh asosiasi profesional teknik. Demikian juga di beberapa negara maju lainnya.

Indonesia tak ingin ketinggalan. Melalui PII, Indonesia kini aktif dalam jejaring internasional seperti International Engineering Alliance (IEA) dan APEC  Engineers, serta berupaya mengikuti semua kesepakatan yang termaktub di dalam organisasi keinsinyuran internasional tersebut, diantaranya adalah terkait kesepakatan Washington Accord, Sydney Accord dan Dublin Accord. Maka jika kita ingin insinyur kita diakui secara global, standar nasional kita harus tegas dan kredibel terlebih dahulu.

Menjaga Marwah Profesi

Penggunaan gelar “Ir.” hari ini bukan urusan suka-suka. Ia adalah bentuk tanggung jawab profesional yang dijaga oleh sistem hukum, etika, dan pengembangan kompetensi berkelanjutan. Sama halnya seperti seorang “dr.” yang harus punya STR dan ikut pelatihan profesi berkala, seorang “Ir.” juga tak bisa lepas dari kewajiban menjaga keahlian dan integritas.

Masyarakat berhak tahu bahwa menyandang gelar Insinyur bukan sekadar soal akademik, tapi soal tanggung jawab sosial. Dan para lulusan teknik pun patut tahu, bahwa untuk mendapatkan kehormatan itu, ada jalur resminya yang kini semakin terbuka dan terukur.

Insinyur bukan sekadar gelar. Ia adalah amanah.

Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Gelar Insinyur, bukan Sekedar Sarjana Teknik Asli", Klik untuk baca:

https://www.kompasiana.com/misrigozan0581/6879b41d34777c7e1b2e024b/gelar-insinyur-bukan-sekedar-asli

Kreator: Misri Gozan